Malam masih menyelimuti langit, bintang mulai beranjak redup. Seruan cinta Tuhan sebentar lagi berkumandang indah, membangunkan orang untuk memuja-Nya. Roni anak berusia sembilan tahun itu masih terlelap tidur dengan selimut ranger merah jagoannya. Ibu dan ayahnya sudah bangun dari tadi, sudah lebih dulu memuja Tuhan lewat tahajud dilanjutkan dengan melantunkan surat cinta dari Tuhan. Subuh ini indah seperti subuh-subuh biasanya, Roni menggeliat dari kasurnya lalu pergi ke kamar ayah dan ibu memeluk mereka satu per satu. Kemudian seruan indah itu berkumandang, maka pergilah mereka sekeluarga ke masjid dekat rumah. Roni kembali memandang langit, pelita kini datang menentramkan hati. Sehabis sholat subuh di masjid tadi, ia terus bertanya pada ayah tentang hari kiamat. Tema ceramah sehabis sholat tadi membahas ciri kiamat, membuat Roni penasaran. Ayah dengan mantap menjawab semua pertanyaan Roni. “Ayah, berarti kita harus solat Subuh di Masjid terus biar tidak kiamat. Roni takut kalau pas Roni maen PS kiamat nya datang yah, kan Roni belum siap.”ungkap Roni polos ketika sarapan pagi. Sementara itu ibu hanya tersenyum gemas mendengar pernyataan buah hatinya.”berarti Roni harus terus berbuat baik agar Roni selalu siap dan siap jika kiamat datang, termasuk solat subuh di masjid.”jawab ayah bijak. Lalu mereka lahap menghabiskan nasi goreng buatan ibu, kadang di sela-sela sarapan indah itu tiba-tiba Roni bertanya polos membuat ibu dan ayah tertawa gelak. Namun, dengan hati-hati ayah dan ibu selalu berusaha menjawab pertanyaan Roni. Sekolah seperti sarang semut ketika bel istirahat dibunyikan, semua anak-anak berhamburan dari kelas. Pukul 11.00 sudah harus masuk kelas kembali, tangan kiri Roni membawa botol minum dan tangan kanannya membawa bekal dari rumah. Ia bersama dua temannya pergi ke kantin sekolah, saling mencicipi bekal dan bercerita tentang ranger jagoan masing-masing. Entah kenapa Roni teringat tentang ceramah subuh tadi dan menceritakan ciri kiamat kepada kedua temannya itu. Dua temannya terkadang tiba-tiba menjerit ngeri mendengar Roni dan kadang mengangguk-angguk setuju. Pukul 12.15 seruan Tuhan akhirnya datang, tiga anak kecil sejak pukul 10.55 sudah berada di dalam Musholah. Mulut tiga anak itu komat kamit memuji nama Tuhan, hanya Roni yang membawa dan membaca iqro’. Mereka begitu dekat dengan Tuhan,”kata ayah, jika kita dekat dengan Tuhan maka Tuhan akan lebih dekat dengan kita.” Dua anak lagi-lagi mengangguk setuju. Musholah begitu sepi, tapi Musholah tersenyum sumringah dengan kedatangan tamu barunya, tiga anak kecil polos yang begitu dekat dengan Tuhan. Satu dari mereka mengetuk pintu kelas, “masuk.”terdengar suara dari dalam. Tanpa takut Roni diikuti dua temannya masuk ke dalam kelas, sedang teman-teman yang lain menyoraki mereka.”diam!”guru itu kemudian mengamati wajah Roni dan dua temannya lekat-lekat. “Assalamu’alaykum,ibu maaf kami telat.”ungkap Roni. “kenapa baru datang sekarang! Apa telinga kalian tuli tidak bisa mendengar bel istirahat selesai!”bentak bu guru. Roni dan dua temannya tertunduk rapuh namun hatinya tidak, ada pelita kecil yang membesar di hati tiap-tiap mereka.”kalian pikir sekolah ini punya bapak kalian, kalian harus menaati aturan sekolah!”lanjut guru itu, garis di dahinya muncul banyak sekali. Roni kini tidak tertunduk lagi seperti dua temannya, ia mengamati garis-garis di dahi guru itu semakin keras dan banyak bermunculan. “kami benar-benar minta maaf bu karena terlambat masuk sehingga melanggar aturan sekolah. Tapi kami lebih takut melanggar aturan Tuhan, soalnya adzan solat zuhur terdengar tepat pukul dua belas lewat lima belas menit jadi kami solat zuhur dulu.”jelas Roni sopan. Kini kepala dua temannya tidak tertunduk lagi lalu teman-teman dikelas bertepuk tangan dan mengangguk setuju dengan tiga anak di depan.”tapi, kalian kan lagi sekolah.”guru itu tetap mempertahankan pendapatnya.”kalau begitu bisa tidak ibu menahan napas selama waktu mengajar sebagai hukuman terlambat solat zuhur, sebagai hukuman tidak taat pada aturan Tuhan. Kan napas berasal dari Tuhan.” tantang Roni. Muka guru itu merah, lalu pergi meninggalkan kelas. Tiga anak itu mengucapkan hamdalah lalu Roni bersujud syukur kepada Tuhan, semua anak mengikutinya bersujud syukur. Baru saja bangkit dari sujud syukur, muka guru itu tiba-tiba sudah berada di depan mereka. Tiga anak itu dipaksa baris berjajar dengan mengulurkan kedua tangan. Lalu mereka telah duduk dibangku masing-masing dengan kulit punggung tangan yang merah dan sedikit mengelupas. Air mata tiap anak di kelas itu keluar, mereka kasihan dengan tiga anak itu, mereka takut dengan guru itu, mereka beristighfar pada Tuhan. “jika ada yang masih berani sama ibu, ibu akan pukul kalian dengan penggaris besi ini!”. Lalu guru itu pergi meninggalkan kelas hingga bel pulang meraung. Semua anak di kelas itu baru berani berdiri dan berbicara ketika bel pulang jelas-jelas berbunyi. Lalu menangis bersama dan memeluk tiga anak pemberani itu. Roni pulang kerumah dengan terhuyung, mengendap-ngendap menyembunyikan kedua telapak tangannya. Hati seorang ibu begitu jernih bahkan Tuhan telah menyatakan bahwa surga berada di telapak kaki ibu. Hati ibu begitu bening seperti prisma yang memantulkan cahaya warna warni indah. Ibu memeluk Roni yang baru saja pulang.”ranger merahku tumben tidak mencium tangan ibu?”ibu bertanya lembut, heran melihat Roni menyembunyikan kedua tangan dibelakang badannya.”ibu, sebenarnya kita harus taat pada Tuhan dulu apa sekolah dulu?”Roni tiba-tiba memeluk ibu.”ibu maaf, hari ini Roni sengaja terlambat masuk ke kelas untuk solat zuhur dulu. Apa Roni salah ibu? Apakah Tuhan akan marah pada Roni.”isak Roni. Ibu meraih lembut tangan Roni, ia begitu kaget melihat memar dan merah punggung tangan buah hatinya itu. Air matapun jatuh di mata lembut itu, lalu memeluk kuat-kuat tubuh Roni.”tidak nak, Roni tidak salah. Tuhan bangga padamu nak.” Ibu begitu tegar menatap mata bulat Roni, di dalam hatinya ia benar-benar merasakan perih melihat buah hatinya dilukai. Malam telah larut, Roni, ibu dan ayah tidur bersama dalam satu kamar. Roni telah tertidur pulas menjemput pelita di dalam mimpi indahnya. “ayah, ibu bangga dengan anak kita yang begitu taat kepada Tuhan. Tapi apa yang harus kita lakukan dengan aturan sekolah tersebut? Ibu tidak setuju dengan waktu belajar mengajar nya sehingga guru dan anak-anak tertunda untuk solat zuhur.”ungkap ibu.”iya bu, ayah juga tidak setuju padahal mencari ilmu itu termasuk ibadah kepada Tuhan. Apa kita tidak usah menjadi donatur lagi disekolah itu?”pikir ayah.”jangan ayah, lebih baik sehabis solat subuh di masjid besok, ayah bicarakan baik-baik dengan kepala sekolahnya, kepala sekolah rajin solat subuh di masjid juga kan yah.” Ayah kemudian mengangguk, tiga manusia itu telah terlelap menjemput hari esok dengan lebih baik dengan senyum merekah di tiap-tiap hati.”pak Mustofa!”ayah buru-buru mengejar kepala sekolah, lalu mereka bersalaman dan mengobrol seru tentang pertandingan sepak bola kemarin sore. Lalu ayah bertanya mengenai keadaan cucuran dana dari donatur dan membahas tentang jadwal sekolah. “baik pak, nanti saya rapatkan dengan para staf. Saya juga sebenarnya kurang setuju dengan kebijakan jam sekolah yang menunda waktu solat. Roni anak bapak memang hebat seperti bapaknya.”ungkap kepala sekolah, lalu mereka bersalaman lagi dan berpisah. Semut-semut berjajar rapi di pohon mangga sekolah, semut-semut mengumpulkan makanan sebanyak-banyaknya agar tidak kekurangan pasokan di musim penghujan. Mereka terlihat akrab bersalaman ketika bertemu, lalu kembali giat bekerja ketika berpisah. Hari ini di musholah sekolah begitu ramai, Roni dan teman-temannya berjajar rapi di belakang kepala sekolah memuja Tuhan di waktu zuhur. Selesainya mereka bersalaman tampak akrab sekali, seperti tiada tembok pemisah antara murid dan guru. Angin memain-mainkan dedaunan pohon mangga, lembut mengelus buahnya yang ranum “Plak” akhirnya buah ranum itu jatuh. Roni dan dua temannya sangat gembira dengan aturan sekolah sekarang, maka di sekolah akan terdengar bel sebanyak empat kali yaitu bel masuk, bel istirahat, bel untuk solat dan bel pulang. “kata ayahku, jika kita mau berbuat baik dan bersungguh-sungguh pasti dimudahkan oleh Tuhan.”ujar Roni. Lalu mereka dengan lahap memakan daging buah mangga yang oren itu, nikmat sekali hari ini. Rumah ibarat sarang lebah, banyak orang mengaji di dalamnya. Roni sangat gembira karena keluarga besar ayah dan ibu datang kerumahnya untuk mengaji. Namun seketika pelita di hatinya meredup ketika membaca tulisan telah berpulang ke pangkuan Tuhan Abdurrahman bin Muhammad Syafrudin untuk selamanya, semoga amal ibadahnya diterima Tuhan dan keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan. Roni berlari kencang masuk ke dalam rumah, menerobos orang ramai yang berusaha menggapainya. Lalu Roni ke kamar ayah, masih lekat dipikirannya ketika ia, ibu dan ayah tidur bersama semalam. Roni berusaha memejamkan mata menggapai pelitanya yang mulai redup, berharap bahwa hari ini hanyalah mimpi buruk. Kemudian ia membuka mata, menoleh ke kiri dan kanan mencari sosok ayah dan ibu semalam. Berkali-kali Roni lakukan seperti itu, masih tak ia dapati sosok ayahnya. Akhirnya, bulir bening itu mengucur deras pada mata bulat Roni. “Ayaaaaaah, siapa yang akan makan buah mangga ini? Ini hadiah dari kepala sekolah kepada kami bertiga yang tepat waktu mengerjakan solat zuhur. Ayah adalah ranger merah Roni, siapa yang akan menolong Roni jika ranger merahnya pergi. Ayaaaaah!!!!”isak Roni pada selimut ranger-nya. Ibu masuk ke kamar dan memeluk Roni kuat-kuat.”anakku, ayahmu akan bahagia disana. Roni yakinkan ayah akan masuk surga, ayah akan bertemu dengan Tuhan dan bahagia di sisi-Nya. Ayah adalah ranger merah yang baik dan beriman, pasti akan dibalas Tuhan dengan kebaikan pula.”mata ibu sangat merah, seperti air mata tak sanggup lagi keluar dari matanya. Kemudian pelukkan ibu lepas dan untuk terakhir kalinya Roni mencium kening ayah sebelum dikebumikan. “ibu, wajah ayah ganteng sekali.”bulir bening itu jatuh kembali dari matanya yang bulat. “Wahai Tuhan yang Maha Pengampun, ampunilah dosa ayah Roni. Tuhan terimakasih Engkau telah Memberikan ayah yang sangat baik, Roni ingin ketika disurga Mu, ayah, ibu dan juga Roni bisa bermain-main lagi. Maka, tanah merah telah menutupi tubuh kaku ayah untuk selamanya. Gemericik hujan seperti menandakan semua orang telah ikhlas melepas ayah, kuburan merah itu tarasa sejuk dibasahi hujan. “ibu, kenapa sekarang ibu jarang ke masjid untuk solat subuh?”tanya Roni, sudah dua bulan setelah kepergian ayah ibu jarang solat subuh di masjid. “Roni anakku sebaiknya wanita solat dirumah daripada pergi ke masjid sendirian.”jelas ibu yang gemas dengan wajah polos Roni.”kan perginya sama Roni bu. Kalau orang-orang yang solat subuh di masjid semakin berkurang nanti kiamat akan datang.”ungkap Roni. “kata ayah kita harus selalu siap dan siap jika kiamat datang.”lanjutnya, kemudian ia memeluk ibu.”ibu, Roni rindu dengan ayah. Roni sangat rindu dengan ayah, Roni ingin solat subuh bareng lagi dengan ibu dan ayah di masjid. Tapi karena ayah sudah pergi biarlah ibu dan Roni saja yang pergi solat di masjid. Roni rindu dengan rumah Tuhan, ingin bercerita kepada Tuhan tentang ayah yang sangat baik.”Roni terisak, ibu juga tak bisa memendam rasa rindu kepada sang ayah, wajah ibu yang lelah itu lebih isak lagi dalam doa, dalam setiap tahajud dan dalam lantunan ayat suci Al-qur’an. Malam kian meredup, bulan malu-malu menampakkan dirinya lagi begitu juga dengan gemintang. Pelita masih jauh untuk terbit mengusir malam, namun dua pelita dari Tuhan telah lama benderang menghiasi hati Roni dan ibu. Mereka berdua dengan langkah tegap pergi ke rumah Tuhan, hati mereka telah berhimpun dalam cinta murni dan tulus dengan Tuhan.
-TAMAT-
oleh : Suci Rezky Fhattiya
0 komentar :
Posting Komentar