Kelam, kelam sekali ketika kulihat rumahku kini. Sebenarnya aku
malas pulang ke Palembang, namun istriku berkilah ingin menemui orang
tuaku. Selama lima tahun menikah istriku belum pernah melihat mertuanya.
Mobil kijang merah yang dahulu terparkir digarasi kini sudah tidak ada
lagi, rumah kelihatan sepi. Ih lantai luarnya masih berdebu seperti
dulu, padahal warna keramiknya hitam namun terlihat amat kotor. Kemana
sih Mita? Adikku ini pemalas sekali tidak mau mengepel lantai teras.
Istriku mengetuk pintu, tidak ada yang membuka.Karena kesal kubuka saja
pintunya, tidak dikunci. “ceroboh sekali keluargaku.”aku menoleh kepada
istriku. Ia istri yang baik hati hanya tersenyum “mungkin barusan tadi
ada tamu mas terus lupa dikunci.”ujar istriku.”ibuuu...ayah..”aku
mencari-cari orang dirumah. Dikamar ibu dan ayah, dekorasinya masih
seperti dulu. Sebuah tempat tidur tua dan disampingnya lemari pakaian.
Hari ini terlihat lebih berantakkan, yang berbeda hanya meja tempat
biasa ibu berhias kini lipstik dan bedak benar-benar kosong. Apa ibu
tidak semenor dulu? Didapur, ya ampun benar-benar berantakkan.”Mas,
serem ada tikus.”istriku kaget melihat buntut tikus yang menggeliak liar
di dalam kardus. Segera kuajak istriku ke kamarku, masih seperti yang
dulu. Kamarku paling banyak menyimpan album foto, maklum aku anak
pertama, orangtuaku terlalu berlebihan menempel foto dari ku kecil
hingga dewasa di dinding kamar. Kupandangi satu persatu fotoku mulai
dari balita hingga dewasa. Disetiap bawah foto ada tulisan-tulisan
orangtuaku. Foto ketika usiaku lima bulan:”Alhamdulillah anak kami sudah
berusia lima bulan, matanya bulat hitam seperti buah leci, kaki dan
tangannya mungil sekali, Ya Allah semoga ia menjadi anak yang berbakti
kelak”.”kamu benar-benar menggemaskan yang.”ujar istriku. Kepegang
tangannya, namun mataku tetap melihat ke foto-foto. Terakhir foto ketika
aku di wisuda, tulisan dibawahnya “suamiku, aku bahagia anak kita yang
pertama sudah diwisuda, maafkan aku yang baru sempat mencetak foto
setelah kau pergi, aku menyesal kenapa tidak cepat mencetaknya seperti
yang kau perintahkan kepadaku”. “Ayah pergi? Kemana?”gumamku. aku
benar-benar bingung dengan tulisan dibawah foto wisudaku lengkap dengan
semua keluargaku. “ibuu..ayah!”aku berlari mencari mereka, air mataku
mulai menetes. Apa yang sebenarnya terjadi?istriku membuntutiku dari
belakang.”Irfan..”tedengar gerangan suara ibu, aku segera mencari sumber
suara. “Dikamar adik!”tebakku. ternyata benar, ibu ada dikamar adik.
Ibu tengah menjahit, aku baru lihat mesin jahit itu.”ibu, Irfan
datang.”kataku lembut.”maaf ya nak, ibu sedang fokus menjahit jadi
suaramu tidak terlalu ibu hiraukan.”ujar ibu dengan muka tanpa bersalah.
Ibu mengajak kami berbincang-bincang diruang tamu. Wajah ibu terlihat
tirus dan pucat, kulitnya benar-benar berkeriput dan tubuh ibu jauh
lebih kurus. “ibu, ayah dimana?”aku masih penasaran dengan tulisan
dibawah foto wisudaku.”ooo ini mantuku ya.”ibu memandangi istriku,
istriku menyalimi tangan ibu dan memijat bahunya.”iya bu ini mantu ibu,
namaku Sinta.”ujar istriku."hah kamu mau minta makan kesini?”tanya ibu
kaget. Aku tercengang mendengar jawaban ibu.”ini sinta ibu, mantu
ibu.”balasku.”apa?”tanya ibu lagi. Kebetulan istriku seorang perawat
spesialis THT, segera ia periksa telinga ibu. Aku sedih sekali, ternyata
ibu tuli. “mas kalau kau mau bicara efektif dengan ibu, kau harus
kencangkan suara kalau tidak kau tulis saja apa yang ingin kau
bicarakan.”ujar istriku. Spontan aku menangis, bersujud ke kaki ibu.
Rumah ini memang tidak banyak berubah tapi orang yang tinggal didalmnya
telah banyak berubah.”maafkan anakmu ya bu.”aku menangis.kuciumi pipi
ibu yang sudah keriput dimakan usia itu, kusujudi tangannya
berulang-ulang, kupeluk tubuh rentahnya. Ia juga menangis
memelukkiku.”Allah, ibu yang telah menjagaku sampai aku dewasa ini tetap
cantik, namun aku tak pandai melihat dan menjaga kecantikkan hatinya.
Benar kata pepatah, sayang orang tua kepada anak tiada habisnya namun
sayang anak ke orang tua hanya dikandung badan. Lalu tanpa disuruh ibu
berbicara dengan sendirinya, aku melepaskan pelukkanku dan duduk
disamping ibu.”ayahmu telah pergi nak, meninggalkan dunia ini.”ibu
menangis, tak hayal tangisku pun pecah.”kapan bu?kenapa ibu tidak
memberitahu aku.”tanya ku, istriku menuliskan pertanyaanku diselembar
kertas dan memberikannya ke ibu.”tiga hari setelah kau wisuda ayahmu
meninggal, kau pergi ke Jakarta untuk menerima panggilan perusahaan
sehari setelah wisuda.ayahmu sakit jantung, sempat dirawat inap di ruang
UGD. Dia berkata untuk tidak memberitahumu, ayahmu tidak ingin
kebahagiaanmu hilang.”ujar ibu sambil menangis, air matanya sudah sangat
banyak keluar. Wajahnya terlihat begitu lelah, kantung matanya besar
dan hitam sekali. Ibu yang dulu anggun ya Allah.”tapi..itu tidak boleh
bu, ini musibah keluarga kita. Siapa saja yang mendapat musibah apalagi
ayah yang pergi..”aku tidak sanggup berkata-kata lagi. Aku sangat
menyesal setelah tiga hari wisuda langsung pergi ke Jakarta untuk
bekerja dan baru pulang sekarang. Aku tidak mengabari ibu perihalku, dan
kejamnya aku tidak mengirimkan uang sepeserpun kepada keluargaku. aku
memeluk ibu lagi, semakin erat. Kuambil kertas ditangan ibu dengan
lembut, lalu kutulis “Mita adikku dimana bu?” ibu semakin menangis, lalu
bercerita kembali”kau dulu pernah menceritakan kepadanya ketika ia SMP
bahwa betapa indah dan nikmatnya belajar di GONTOR, sekolah pesantren di
Jawa itu.”ujar ibu, Astaghfirullah aku benarf-benar lupa dengan hal
itu, aku juga menjanjikannya untuk menyekolahkannya SMA disana.”kau
bilang kepadanya tunggu kakak bawa uang yang banyak selepas wisuda untuk
membawanya ke Gontor. Satu tahun, dua tahun ia menunggumu. Namun kau
tak kunjung datang.”lanjut ibu.”aku kembali menulis “lalu Mita sekarang
dimana bu?”.”Mita mencari sendiri Gontor, dua bulan yang lalu ia meminta
izin ku untuk ke Jawa. Sampai sekarang belum ada kabarnya.”ibu
menangis, namun air matanya telah habis sekarang hanya terdengar isak
suaranya yang pecah. Sudah aku tidak sanggup lagi melihat kesedihan ibu,
segera kugendong ibu kekamar Mita. Ibu maafkan Irfan, banyak sekali
kesalahan yang Irfan lakukan. Irfan telah jadi anak durhaka.”ku kecup
kening ibuku, ku baringkan tubuh ibu ke kasur.”ibu sebaiknya istirahat
dulu, Irfan mau beli makanan dulu, ibu pasti lapar.”lalu ibu tersenyum
dan memejamkan mata, ku kecup kening ibu lagi. Aku penasaran dengan apa
yang ibu jahit, ternyata kaos berbahan biru. Ini kaos ayah, kaos
kesayangan ayah. Kaos yang sangat aku idamkan, aku mengguntingnya karena
kesal ayah tidak mau memberikannya kepadaku padahal besok aku mau
memakainya ke acara perpisahan sekolah. Itu ketika aku kelas tiga SMA.
Allah, betapa tololnya hamba menjadi anak. Di kaos itu ibu menjahit
kata-kata, AYAH LOVE IRFAN.” Irfan, sebenarnya ayah menyesal tidak
memberikan baju itu kepadamu. Ia juga yang menyuruh ibu menjahitkannya
untukmu sebelum acara perpisahan, Cuma kau pada waktu itu marah hingga
tak tidur dirumah. Kami sangat cemas menunggumu pulang.”jelas ibu,
ternyata ibu belum tidur. Aku benar-benar menyesal ibu, kali ini aku
ingin membahagiakan kalian. Aku yakin ini semua belum terlambat bu.
Ayah...aku mencintaimu, air mataku berjatuhan dikaos itu. Aku segera
beranjak meninggalkan ibu, istriku dan dunia ini.
Karya :Suci Rezky Fhattiya
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar :
Posting Komentar