Sesalku Lenyap

Selasa, 18 September 2012

Kelam, kelam sekali ketika kulihat rumahku kini. Sebenarnya aku malas pulang ke Palembang, namun istriku berkilah ingin menemui orang tuaku. Selama lima tahun menikah istriku belum pernah melihat mertuanya. Mobil kijang merah yang dahulu terparkir digarasi kini sudah tidak ada lagi, rumah kelihatan sepi. Ih lantai luarnya masih berdebu seperti dulu, padahal warna keramiknya hitam namun terlihat amat kotor. Kemana sih Mita? Adikku ini pemalas sekali tidak mau mengepel lantai teras. Istriku mengetuk pintu, tidak ada yang membuka.Karena kesal kubuka saja pintunya, tidak dikunci. “ceroboh sekali keluargaku.”aku menoleh kepada istriku. Ia istri yang baik hati hanya tersenyum “mungkin barusan tadi ada tamu mas terus lupa dikunci.”ujar istriku.”ibuuu...ayah..”aku mencari-cari orang dirumah. Dikamar ibu dan ayah, dekorasinya masih seperti dulu. Sebuah tempat tidur tua dan  disampingnya lemari pakaian. Hari ini terlihat lebih berantakkan, yang berbeda hanya meja tempat biasa ibu berhias kini lipstik dan bedak benar-benar kosong. Apa ibu tidak semenor dulu? Didapur, ya ampun benar-benar berantakkan.”Mas, serem ada tikus.”istriku kaget melihat buntut tikus yang menggeliak liar di dalam kardus. Segera kuajak istriku ke kamarku, masih seperti yang dulu. Kamarku paling banyak menyimpan album foto, maklum aku anak pertama, orangtuaku terlalu berlebihan menempel foto dari ku kecil hingga dewasa di dinding kamar. Kupandangi satu persatu fotoku mulai dari balita hingga dewasa. Disetiap bawah foto ada tulisan-tulisan orangtuaku. Foto ketika usiaku lima bulan:”Alhamdulillah anak kami sudah berusia lima bulan, matanya bulat hitam seperti buah leci, kaki dan tangannya mungil sekali, Ya Allah semoga ia menjadi anak yang berbakti kelak”.”kamu benar-benar menggemaskan yang.”ujar istriku. Kepegang tangannya, namun mataku tetap melihat ke foto-foto. Terakhir foto ketika aku di wisuda, tulisan dibawahnya “suamiku, aku bahagia anak kita yang pertama sudah diwisuda, maafkan aku yang baru sempat mencetak foto setelah kau pergi, aku menyesal kenapa tidak cepat mencetaknya  seperti yang kau perintahkan kepadaku”. “Ayah pergi? Kemana?”gumamku. aku benar-benar bingung dengan tulisan dibawah foto wisudaku lengkap dengan semua keluargaku. “ibuu..ayah!”aku berlari mencari mereka, air mataku mulai menetes. Apa yang sebenarnya terjadi?istriku membuntutiku dari belakang.”Irfan..”tedengar gerangan suara ibu, aku segera mencari sumber suara. “Dikamar adik!”tebakku. ternyata benar, ibu ada dikamar adik. Ibu tengah menjahit, aku baru lihat mesin jahit itu.”ibu, Irfan datang.”kataku lembut.”maaf ya nak, ibu sedang fokus menjahit jadi suaramu tidak terlalu ibu hiraukan.”ujar ibu dengan muka tanpa bersalah. Ibu mengajak kami berbincang-bincang diruang tamu. Wajah ibu terlihat tirus dan pucat, kulitnya benar-benar berkeriput dan tubuh ibu jauh lebih kurus. “ibu, ayah dimana?”aku masih penasaran dengan tulisan dibawah foto wisudaku.”ooo ini mantuku ya.”ibu memandangi istriku, istriku menyalimi tangan ibu dan memijat bahunya.”iya bu ini mantu ibu, namaku Sinta.”ujar istriku."hah kamu mau minta makan kesini?”tanya ibu kaget. Aku tercengang mendengar jawaban ibu.”ini sinta ibu, mantu ibu.”balasku.”apa?”tanya ibu lagi. Kebetulan istriku seorang perawat spesialis THT, segera ia periksa telinga ibu. Aku sedih sekali, ternyata ibu tuli. “mas kalau kau mau bicara efektif dengan ibu, kau harus kencangkan suara kalau tidak kau tulis saja apa yang ingin kau bicarakan.”ujar istriku. Spontan aku menangis, bersujud ke kaki ibu. Rumah ini memang tidak banyak berubah tapi orang yang tinggal didalmnya telah banyak berubah.”maafkan anakmu ya bu.”aku menangis.kuciumi pipi ibu yang sudah keriput dimakan usia itu, kusujudi tangannya berulang-ulang, kupeluk tubuh rentahnya. Ia juga menangis memelukkiku.”Allah, ibu yang telah menjagaku sampai aku dewasa ini tetap cantik, namun aku tak pandai melihat dan menjaga kecantikkan hatinya. Benar kata pepatah, sayang orang tua kepada anak tiada habisnya namun sayang anak ke orang tua hanya dikandung badan. Lalu tanpa disuruh ibu berbicara dengan sendirinya, aku melepaskan pelukkanku dan duduk disamping ibu.”ayahmu telah pergi nak, meninggalkan dunia ini.”ibu menangis, tak hayal tangisku pun pecah.”kapan bu?kenapa ibu tidak memberitahu aku.”tanya ku, istriku menuliskan pertanyaanku diselembar kertas dan memberikannya ke ibu.”tiga hari setelah kau wisuda ayahmu meninggal, kau pergi ke Jakarta untuk menerima panggilan perusahaan sehari setelah wisuda.ayahmu sakit jantung, sempat dirawat inap di ruang UGD. Dia berkata untuk tidak memberitahumu, ayahmu tidak ingin kebahagiaanmu hilang.”ujar ibu sambil menangis, air matanya sudah sangat banyak keluar. Wajahnya terlihat begitu lelah, kantung matanya besar dan hitam sekali. Ibu yang dulu anggun ya Allah.”tapi..itu tidak boleh bu, ini musibah keluarga kita. Siapa saja yang mendapat musibah apalagi ayah yang pergi..”aku tidak sanggup berkata-kata lagi.  Aku sangat menyesal setelah tiga hari wisuda langsung pergi ke Jakarta untuk bekerja dan baru pulang sekarang. Aku tidak mengabari ibu perihalku, dan kejamnya aku tidak mengirimkan uang sepeserpun kepada keluargaku. aku memeluk ibu lagi, semakin erat. Kuambil kertas ditangan ibu dengan lembut, lalu kutulis “Mita adikku dimana bu?” ibu semakin menangis, lalu bercerita kembali”kau dulu pernah menceritakan kepadanya ketika ia SMP bahwa betapa indah dan nikmatnya belajar di GONTOR, sekolah pesantren di Jawa itu.”ujar ibu, Astaghfirullah aku benarf-benar lupa dengan hal itu, aku juga menjanjikannya untuk menyekolahkannya SMA disana.”kau bilang kepadanya tunggu kakak bawa uang yang banyak selepas wisuda untuk membawanya ke Gontor. Satu tahun, dua tahun ia menunggumu. Namun kau tak kunjung datang.”lanjut ibu.”aku kembali menulis “lalu Mita sekarang dimana bu?”.”Mita mencari sendiri Gontor, dua bulan yang lalu ia meminta izin ku untuk ke Jawa. Sampai sekarang belum ada kabarnya.”ibu menangis, namun air matanya telah habis sekarang hanya terdengar isak suaranya yang pecah. Sudah aku tidak sanggup lagi melihat kesedihan ibu, segera kugendong ibu kekamar Mita. Ibu maafkan Irfan, banyak sekali kesalahan yang Irfan lakukan. Irfan telah jadi anak durhaka.”ku kecup kening ibuku, ku baringkan tubuh ibu ke kasur.”ibu sebaiknya istirahat dulu, Irfan mau beli makanan dulu, ibu pasti lapar.”lalu ibu tersenyum dan memejamkan mata, ku kecup kening ibu lagi. Aku penasaran dengan apa yang ibu jahit, ternyata kaos berbahan biru. Ini kaos ayah, kaos kesayangan ayah. Kaos yang sangat aku idamkan, aku mengguntingnya karena kesal ayah tidak mau memberikannya kepadaku padahal besok aku mau memakainya ke acara perpisahan sekolah. Itu ketika aku kelas tiga SMA. Allah, betapa tololnya hamba menjadi anak. Di kaos itu ibu menjahit kata-kata, AYAH LOVE IRFAN.” Irfan, sebenarnya ayah menyesal tidak memberikan baju itu kepadamu. Ia juga yang menyuruh ibu menjahitkannya untukmu sebelum acara perpisahan, Cuma kau pada waktu itu marah hingga tak tidur dirumah. Kami sangat cemas menunggumu pulang.”jelas ibu, ternyata ibu belum tidur. Aku benar-benar menyesal ibu, kali ini aku ingin membahagiakan kalian. Aku yakin ini semua belum terlambat bu. Ayah...aku mencintaimu, air mataku berjatuhan dikaos itu. Aku segera beranjak meninggalkan ibu, istriku dan dunia ini.

Karya :Suci Rezky Fhattiya

0 komentar :

Posting Komentar