Tanda Tanya Tanda Mata

Senin, 10 September 2012


TANDA TANYA TANDA MATA

Malam  mulai merangkak meninggalkan tempat ternyamannya, sinar sang surya beranjak menyelimuti cerahnya pagi ini. Aku masih bergulat dengan selimut biru tipis kesayanganku, kumis bapak yang biasa menemani tidurku kini hilang. “bapak!...emak, bapak kemana?”aku langsung berlari mencari bapak, hanya emak yang kutemui sedang memasak didapur. “bapakmu sedang bekerja. Sudah sana cepat mandi, bang Oop sudah mengantarkan setumpuk koran untuk kau jual.”ujar emak. Yah bapak sudah pergi, hmmm tumben bapak bekerja. Setahuku bapak adalah seorang pengangguran, baguslah kalau bapak memang sudah bekerja. Aku ingat, Bapak  pernah berjanji padaku akan menyekolahkanku jika mendapat pekerjaan. Biarlah sekarang aku membantu bapak dan emak dulu, walaupun aku tahu umurku kian bertambah.
Segera kuambil handuk dan mandi didekat sumur, sebenarnya aku sangat benci mandi. Bukan karena aku takut air, aku takut dengan sumurnya. Sumur itu seperti mengandung sejuta misteri, sejuta buaya. “Daaar!”waaaa aku berlari telanjang masuk kerumah. Terdengar sayup-sayup orang tertawa, semakin lama semakin kuat. Segera kuintip dari balik jendela, huh sialan bang Oop.”hahahaha..dasar kau si boy yang penakut, percuma emak bapakmu memberi nama Boy. Laku mu kayak cewek.hahhaa” Bang Oop terus saja tertawa, aku muak dengan sikapnya. Seharusnya aku sudah mengetahui akan terjadi seperti ini, hampir tiap pagi bang Oop mengejutkanku..bodohnya aku. “ayo lekas pakai bajumu, ingat ya ada 15 koran. 5 SINDO, 5 Replubika, dan 5 Radar. Harganya jangan kemurahan, kemarin kau hanya memberiku sedikit untung.”jelas Bang Oop, sehabis bicara ia langsung pergi. Satu lagi hal yang membuatku muak, awas kau ya bang Oop.
Duhai permata hatiku, bapak kenapa kau belum pulang juga?aku menunggu bapak diatas pohon jambu. Haduh perutku dari tadi sudah menganga meminta makan, dari tadi juga aku memakan daun jambu. Musim jambu belum datang, jambu yang muda sudah aku lahap semuanya. Aku tahu emak tidak punya uang untuk masak, keuntungan jual kue saja kurasa sangat sedikit. Kini hanya bapak satu-satunya harapan kami, bapak semoga kau dapat pekerjaan. Segera kugeret kaki ini menyusuri jejalanan aspal, panasnya yang menyengat membuat kulit kakiku sedikit mengelupas. Kuhantamkan kaki malang ini tanpa sehelai alas, mengharap kasih Illahi untuk memperoleh rezeki. Setiap pagi aku melewati sebuah rumah maha besar, dengan pagar melilit diluarnya bak anjing yang siap menerkam. Pagar tersebut sangat tinggi, tamannya sangat luas dan rumahnya bertuliskan gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Entah itu rumah siapa?yang jelas aku ingin menjadi salah satu penghuninya, kan kuajak bapak dan emak menginap disitu. “koran koran” aku menjajahkan koran, belum ada satu pun yang membeli. Lelah sekali, ingin minum seteguk air dirumah, tapi takut dengan emak yang bisa marah karena belum ada koran yang terjual. Argh..tenggorokkanku perih sekali, dengan terhuyung aku pulang kerumah.
Segera kulipat 15 koran dalam baju ku, “bismillah” aku membuka pintu sambil memejamkan mata. “plak”
“bapaaaak!”aku berhamburan ke arah bapak, emak menampar bapak. Entah apa yang terjadi pada orangtuaku, kulihat wajah mereka menangis. “pergi kau Boy!”bentak emak “emak jahat! Emak istri durhaka.”aku memeluk bapak kuat-kuat, aku genggam tangan bapak. Tiba-tiba bapak melempar tubuh ringanku dengan kuat ke kasur. “tak apa nak, ibu dan bapak hanya latihan bermain drama.”lalu bapak pergi meninggalkan ku, emak, rumah, dan sejuta tanya yang menusuk-nusuk pikiranku. Aku menangis dalam tidur. 
Empat bulan sudah kutelan pahit-pahit pil kehidupan tanpa bapak, setelah kejadian itu emak mengajakku pindah rumah ke kampung sebelah. Bapak...aku sangat merindukanmu, aku yang kau ajarkan tipologi kata ‘kita’. Engkau bilang bahwa kata kita mengajarkan kekuatan teman yang amat kuat, kita ada untuk menebarkan kebaikan walau kita susah. Kita takkan terpisahkan pak... tak terasa bulir-bulir dari pelupuk mata jatuh lagi. Hampir tiap hari aku menangis, bapak...betapa kasih engkau memandikanku, betapa...betapa perih hatiku.”BAPAAAAK!”
“Boy, mau kemana kau!”emak menjerit memanggilku. Aku berlari sekuat tenaga, membanting pintu lalu keluar. Entah kemana tujuan ku lari...aku ingin bertemu bapak. “BAPAAAK KITA TAK KAN TERPISAHKAN,BAPAK KEMANA ENGKAU..BAPAK AKU SANGAT SAYANG PADAMU. BAPAK..AKU JANJI AKAN RAJIN MANDI...BAPAK” tangisku pecah. Aku berlarian membabi buta, entah dimana aku sekarang. Hanya bapak yang kuinginkan, Ya Allah..hanya bapak. Langkah gontaiku ini terpaut pada sebuah rumah gubuk, rumah sejuta kenangan. Rumah bapak, rumah bermain ketika aku lelah bekerja...rumah ku dan bapak dulu, juga rumah emak. Kenapa pintunya tidak bisa dibuka? “bapak..bapak, ini Boy pak. Buka pak.”tak ada jawaban
Berat sekali tubuh ini, aku terbangun dari mimpi. Bapak? Kenapa aku ada dirumah?
“Boy sayangku, maafkan emak.”rupanya emak berada disampingku, matanya sembab.
“kemarin emak dan bang Oop mencarimu, ternyata kau ada dirumah lama kita. Yah..rumah emak, bapak, dan Boy. Disana rumah terbaik kita, karena kita lengkap.”
“emak jahat!!!”aku mencoba lari lagi, namun emak lebih dulu menangkap tubuh kecilku dan memelukku dengan kencang. “apa kau akan seperti bapak juga yang meninggalkan aku disini!”emak semakin erat memelukku, ia menangis histeris. “bapakmu sekarang dipenjara, kau tahu!!!!” aku tersentak kaget, kenapa..kenapa bapak masuk buih? “ini semua gara-gara aku..aku yang selalu mengeluh uang kurang. Aku suruh bapakmu agar cepat kerja.” Aku tahu itu, emak selalu memarahi bapak, menyuruh bapak bekerja mengurangi jatah mainku dengan bapak.”dulu pas pemilihan anggota DPRD
, pak Prapto, ada pembukaan tim suksesnya. Dan aku menyuruh bapakmu untuk ikut, karena uang imbalannya besar.”lanjut emak, “namun berengseknya, si Prapto kalah. Dan kau tahu! Dia menipu kita”lalu emak diam sebentar, mengambil sebuah kertas dilemari. Membaca surat tersebut dengan terbata-bata, aku tahu kami sekeluarga tidak bisa membaca. Emak bisa, Cuma baru sampai mengeja.” Disini tertulis,jika lurah menang tiap anggota akan mendapat bantuan dana dan jika lurah kalah maka tim sukses harus menyerahkan uang Rp 1.000.000,00 sebagai bentuk baktinya kepada demokrasi. Surat ini dari Prapto gila!” “aku tahu ini salah, tapi aku yakin Prapto akan menang”! aku berusaha melepaskan pelukkan emak, dadaku sesak. “dan kau tahu, setelah pengumuman kemenangan lurah, semua tim sukses Prapto berbondong-bondong kerumahnya, merasa dirugikan dengan memberi uang Rp 1.000.000,00 kepada Prapto. Kejadian ini sampai dibawa ke pengadilan, dan kita kalah.”
“KITA KALAH..KITA KALAH..AKU KALAH!!!!”jerit emak..Ya Allah aku benar-benar takut dengan emak, aku berusaha melepaskan tubuh ini dari pelukkannya. Tiba-tiba emak berbaik hati melepaskan pelukkannya,”haah..lega sekali.” “kau akan mati bersama ku..!!” tiba-tiba emak menodongkan pisau kedadaku.”emak sadar mak!”aku berlari menuju pintu..”emak istighfar mak!”kami dulu duluan menggapai pintu, kupegang gagang pintu.”Boy..apa kau akan meninggalkan aku juga. Hahahah tidak bisa, kalian tidak bisa meninggalkanku. Aku duluan yang akan meninggalkan kalian!” “crooot” pisau telah bersarang ketubuh emak, darahnya berpencaran ke muka ku. “emaaaak!!!!”
“maaf pak...surat miskinnya tidak ada, jadi kami tidak bisa..ehm bapak harus menyelesaikan administrasinya dulu.”ujar suster pelan
“gilaaaa kau, lihat wanita ini..dia tengah meregang!” jerit bang Oop menunjuk ke arah ibu. Aku hanya menangis, memandangi wajah ibu yang sedang meregang. Ya Allah permudahlah ibu hamba, ampunilah dosa-dosanya. Berikanlah yang terbaik untuknya.
“tapi maaf pak..” segera bang Oop mengambil sendiri ranjang dorong dan mengangkat tubuh ibu yang mulai terendam darah dan tangisku. Lalu kami segera pergi ke kamar pasien. “baik pak, mari saya antar ke kamar pasien. Masalah administrasinya bisa diatur.”ujar suster bedebah ini. Entah apa yang terjadi setelah ini, impianku seakan-akan pergi meninggalkanku berputar di kepalaku lalu terbang bersama bayang-bayang gedung DPR. Aku ingin kita tinggal disana...

katya: suci melangit


















1 komentar :

Yusuf Muhammad mengatakan...

Secara garis birokrasi Desa memang setara dengan Kelurahan, tapi tetap BERBEDA! Misal, kalau kelurahan dipimpin oleh Pak Lurah. Pak Lurah tidak dipilih oleh rakyat, tapi diangkat oleh pemerintah (semacam Menteri yang diangkat langsung oleh presiden). Kalau desa dipimpin oleh Kades (Kepala Desa). Nah, Kades baru dipilih oleh rakyat melalui sistem demokrasi (semacam presiden yang dipilih lewat pemilu).

Satu lagi pertanyaan, kalau "daerah jajahan" sang anak itu kantor DPR, berarti latar belakang tempatnya di Jakarta kan. Nah, ada gak sih "desa" di Jakarta? Sejujurnya ane juga gak tahu, yang pasti di sekitar rumah ane mah adanya kelurahan.

Karya sastra itu bukan sekedar kemampuan mengolah kata-kata. Kita juga harus punya ilmu terkait cerita yang ingin kita buat.

Sekian. Terima kasih. :)

Tetap berkarya! Semangat!

Posting Komentar