TANDA
TANYA TANDA MATA
Malam mulai merangkak meninggalkan tempat
ternyamannya, sinar sang surya beranjak menyelimuti cerahnya pagi ini. Aku
masih bergulat dengan selimut biru tipis kesayanganku, kumis bapak yang biasa
menemani tidurku kini hilang. “bapak!...emak, bapak kemana?”aku langsung
berlari mencari bapak, hanya emak yang kutemui sedang memasak didapur. “bapakmu
sedang bekerja. Sudah sana cepat mandi, bang Oop sudah mengantarkan setumpuk
koran untuk kau jual.”ujar emak. Yah bapak sudah pergi, hmmm tumben bapak
bekerja. Setahuku bapak adalah seorang pengangguran, baguslah kalau bapak
memang sudah bekerja. Aku ingat, Bapak pernah berjanji padaku akan menyekolahkanku
jika mendapat pekerjaan. Biarlah sekarang aku membantu bapak dan emak dulu,
walaupun aku tahu umurku kian bertambah.
Segera kuambil handuk
dan mandi didekat sumur, sebenarnya aku sangat benci mandi. Bukan karena aku
takut air, aku takut dengan sumurnya. Sumur itu seperti mengandung sejuta
misteri, sejuta buaya. “Daaar!”waaaa aku berlari telanjang masuk kerumah.
Terdengar sayup-sayup orang tertawa, semakin lama semakin kuat. Segera kuintip
dari balik jendela, huh sialan bang Oop.”hahahaha..dasar kau si boy yang
penakut, percuma emak bapakmu memberi nama Boy. Laku mu kayak cewek.hahhaa” Bang
Oop terus saja tertawa, aku muak dengan sikapnya. Seharusnya aku sudah
mengetahui akan terjadi seperti ini, hampir tiap pagi bang Oop
mengejutkanku..bodohnya aku. “ayo lekas pakai bajumu, ingat ya ada 15 koran. 5
SINDO, 5 Replubika, dan 5 Radar. Harganya jangan kemurahan, kemarin kau hanya
memberiku sedikit untung.”jelas Bang Oop, sehabis bicara ia langsung pergi.
Satu lagi hal yang membuatku muak, awas kau ya bang Oop.
Duhai permata hatiku, bapak
kenapa kau belum pulang juga?aku menunggu bapak diatas pohon jambu. Haduh
perutku dari tadi sudah menganga meminta makan, dari tadi juga aku memakan daun
jambu. Musim jambu belum datang, jambu yang muda sudah aku lahap semuanya. Aku
tahu emak tidak punya uang untuk masak, keuntungan jual kue saja kurasa sangat
sedikit. Kini hanya bapak satu-satunya harapan kami, bapak semoga kau dapat
pekerjaan. Segera kugeret kaki ini menyusuri jejalanan aspal, panasnya yang
menyengat membuat kulit kakiku sedikit mengelupas. Kuhantamkan kaki malang ini
tanpa sehelai alas, mengharap kasih Illahi untuk memperoleh rezeki. Setiap pagi
aku melewati sebuah rumah maha besar, dengan pagar melilit diluarnya bak anjing
yang siap menerkam. Pagar tersebut sangat tinggi, tamannya sangat luas dan
rumahnya bertuliskan gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Entah itu rumah siapa?yang
jelas aku ingin menjadi salah satu penghuninya, kan kuajak bapak dan emak
menginap disitu. “koran koran” aku menjajahkan koran, belum ada satu pun yang
membeli. Lelah sekali, ingin minum seteguk air dirumah, tapi takut dengan emak
yang bisa marah karena belum ada koran yang terjual. Argh..tenggorokkanku perih
sekali, dengan terhuyung aku pulang kerumah.
Segera kulipat 15 koran dalam baju ku, “bismillah”
aku membuka pintu sambil memejamkan mata. “plak”
“bapaaaak!”aku berhamburan ke
arah bapak, emak menampar bapak. Entah apa yang terjadi pada orangtuaku,
kulihat wajah mereka menangis. “pergi kau Boy!”bentak emak “emak jahat! Emak
istri durhaka.”aku memeluk bapak kuat-kuat, aku genggam tangan bapak. Tiba-tiba
bapak melempar tubuh ringanku dengan kuat ke kasur. “tak apa nak, ibu dan bapak
hanya latihan bermain drama.”lalu bapak pergi meninggalkan ku, emak, rumah, dan
sejuta tanya yang menusuk-nusuk pikiranku. Aku menangis dalam tidur.
Empat bulan sudah kutelan
pahit-pahit pil kehidupan tanpa bapak, setelah kejadian itu emak mengajakku
pindah rumah ke kampung sebelah. Bapak...aku sangat merindukanmu, aku yang kau
ajarkan tipologi kata ‘kita’. Engkau bilang bahwa kata kita mengajarkan
kekuatan teman yang amat kuat, kita ada untuk menebarkan kebaikan walau kita
susah. Kita takkan terpisahkan pak... tak terasa bulir-bulir dari pelupuk mata
jatuh lagi. Hampir tiap hari aku menangis, bapak...betapa kasih engkau
memandikanku, betapa...betapa perih hatiku.”BAPAAAAK!”
“Boy, mau kemana kau!”emak
menjerit memanggilku. Aku berlari sekuat tenaga, membanting pintu lalu keluar.
Entah kemana tujuan ku lari...aku ingin bertemu bapak. “BAPAAAK KITA TAK KAN
TERPISAHKAN,BAPAK KEMANA ENGKAU..BAPAK AKU SANGAT SAYANG PADAMU. BAPAK..AKU
JANJI AKAN RAJIN MANDI...BAPAK” tangisku pecah. Aku berlarian membabi buta,
entah dimana aku sekarang. Hanya bapak yang kuinginkan, Ya Allah..hanya bapak.
Langkah gontaiku ini terpaut pada sebuah rumah gubuk, rumah sejuta kenangan.
Rumah bapak, rumah bermain ketika aku lelah bekerja...rumah ku dan bapak dulu,
juga rumah emak. Kenapa pintunya tidak bisa dibuka? “bapak..bapak, ini Boy pak.
Buka pak.”tak ada jawaban
Berat sekali tubuh ini, aku
terbangun dari mimpi. Bapak? Kenapa aku ada dirumah?
“Boy sayangku, maafkan emak.”rupanya
emak berada disampingku, matanya sembab.
“kemarin emak dan bang Oop
mencarimu, ternyata kau ada dirumah lama kita. Yah..rumah emak, bapak, dan Boy.
Disana rumah terbaik kita, karena kita lengkap.”
“emak jahat!!!”aku mencoba lari
lagi, namun emak lebih dulu menangkap tubuh kecilku dan memelukku dengan
kencang. “apa kau akan seperti bapak juga yang meninggalkan aku disini!”emak
semakin erat memelukku, ia menangis histeris. “bapakmu sekarang dipenjara, kau
tahu!!!!” aku tersentak kaget, kenapa..kenapa bapak masuk buih? “ini semua
gara-gara aku..aku yang selalu mengeluh uang kurang. Aku suruh bapakmu agar
cepat kerja.” Aku tahu itu, emak selalu memarahi bapak, menyuruh bapak bekerja
mengurangi jatah mainku dengan bapak.”dulu pas pemilihan anggota DPRD
, pak Prapto, ada pembukaan tim suksesnya. Dan aku menyuruh bapakmu untuk ikut, karena uang imbalannya besar.”lanjut emak, “namun berengseknya, si Prapto kalah. Dan kau tahu! Dia menipu kita”lalu emak diam sebentar, mengambil sebuah kertas dilemari. Membaca surat tersebut dengan terbata-bata, aku tahu kami sekeluarga tidak bisa membaca. Emak bisa, Cuma baru sampai mengeja.” Disini tertulis,jika lurah menang tiap anggota akan mendapat bantuan dana dan jika lurah kalah maka tim sukses harus menyerahkan uang Rp 1.000.000,00 sebagai bentuk baktinya kepada demokrasi. Surat ini dari Prapto gila!” “aku tahu ini salah, tapi aku yakin Prapto akan menang”! aku berusaha melepaskan pelukkan emak, dadaku sesak. “dan kau tahu, setelah pengumuman kemenangan lurah, semua tim sukses Prapto berbondong-bondong kerumahnya, merasa dirugikan dengan memberi uang Rp 1.000.000,00 kepada Prapto. Kejadian ini sampai dibawa ke pengadilan, dan kita kalah.”
, pak Prapto, ada pembukaan tim suksesnya. Dan aku menyuruh bapakmu untuk ikut, karena uang imbalannya besar.”lanjut emak, “namun berengseknya, si Prapto kalah. Dan kau tahu! Dia menipu kita”lalu emak diam sebentar, mengambil sebuah kertas dilemari. Membaca surat tersebut dengan terbata-bata, aku tahu kami sekeluarga tidak bisa membaca. Emak bisa, Cuma baru sampai mengeja.” Disini tertulis,jika lurah menang tiap anggota akan mendapat bantuan dana dan jika lurah kalah maka tim sukses harus menyerahkan uang Rp 1.000.000,00 sebagai bentuk baktinya kepada demokrasi. Surat ini dari Prapto gila!” “aku tahu ini salah, tapi aku yakin Prapto akan menang”! aku berusaha melepaskan pelukkan emak, dadaku sesak. “dan kau tahu, setelah pengumuman kemenangan lurah, semua tim sukses Prapto berbondong-bondong kerumahnya, merasa dirugikan dengan memberi uang Rp 1.000.000,00 kepada Prapto. Kejadian ini sampai dibawa ke pengadilan, dan kita kalah.”
“KITA KALAH..KITA KALAH..AKU
KALAH!!!!”jerit emak..Ya Allah aku benar-benar takut dengan emak, aku berusaha
melepaskan tubuh ini dari pelukkannya. Tiba-tiba emak berbaik hati melepaskan
pelukkannya,”haah..lega sekali.” “kau akan mati bersama ku..!!” tiba-tiba emak
menodongkan pisau kedadaku.”emak sadar mak!”aku berlari menuju pintu..”emak
istighfar mak!”kami dulu duluan menggapai pintu, kupegang gagang
pintu.”Boy..apa kau akan meninggalkan aku juga. Hahahah tidak bisa, kalian
tidak bisa meninggalkanku. Aku duluan yang akan meninggalkan kalian!” “crooot”
pisau telah bersarang ketubuh emak, darahnya berpencaran ke muka ku.
“emaaaak!!!!”
“maaf pak...surat miskinnya tidak
ada, jadi kami tidak bisa..ehm bapak harus menyelesaikan administrasinya
dulu.”ujar suster pelan
“gilaaaa kau, lihat wanita
ini..dia tengah meregang!” jerit bang Oop menunjuk ke arah ibu. Aku hanya
menangis, memandangi wajah ibu yang sedang meregang. Ya Allah permudahlah ibu
hamba, ampunilah dosa-dosanya. Berikanlah yang terbaik untuknya.
“tapi maaf pak..” segera bang Oop
mengambil sendiri ranjang dorong dan mengangkat tubuh ibu yang mulai terendam
darah dan tangisku. Lalu kami segera pergi ke kamar pasien. “baik pak, mari
saya antar ke kamar pasien. Masalah administrasinya bisa diatur.”ujar suster
bedebah ini. Entah apa yang terjadi setelah ini, impianku seakan-akan pergi
meninggalkanku berputar di kepalaku lalu terbang bersama bayang-bayang gedung
DPR. Aku ingin kita tinggal disana...
katya: suci melangit
1 komentar :
Secara garis birokrasi Desa memang setara dengan Kelurahan, tapi tetap BERBEDA! Misal, kalau kelurahan dipimpin oleh Pak Lurah. Pak Lurah tidak dipilih oleh rakyat, tapi diangkat oleh pemerintah (semacam Menteri yang diangkat langsung oleh presiden). Kalau desa dipimpin oleh Kades (Kepala Desa). Nah, Kades baru dipilih oleh rakyat melalui sistem demokrasi (semacam presiden yang dipilih lewat pemilu).
Satu lagi pertanyaan, kalau "daerah jajahan" sang anak itu kantor DPR, berarti latar belakang tempatnya di Jakarta kan. Nah, ada gak sih "desa" di Jakarta? Sejujurnya ane juga gak tahu, yang pasti di sekitar rumah ane mah adanya kelurahan.
Karya sastra itu bukan sekedar kemampuan mengolah kata-kata. Kita juga harus punya ilmu terkait cerita yang ingin kita buat.
Sekian. Terima kasih. :)
Tetap berkarya! Semangat!
Posting Komentar